'Suara' Dalam Gerak Yang Bicara


Malam itu, Goethe Haus Menteng dipadati pengunjung. Mereka berdesakan memasuki ruang pertunjukan untuk menyaksikan pamentasan tari kontemporer bertajuk “Suara” karya Nabilla Rasul (24).

Koreografer muda ini memanifestasikan imaji dan kreatifitasnya pada gerak kreatif yang berkisah tentang kekerasan domestik. Dalam pementasan itu delapan penari perempuan Althea Sri Bestari, Andrea Paramitha Korompis, Anindya Krisna, Arisa Inagaki, Carolin Windy, Marina Nadya, Mariska Febriyani, Mima Afifah- menampilkan gerak tari yang merepresentasikan para perempuan sebagai korban kekerasan yang biasanya enggan untuk bersuara. Lewat gerakan gerakan yang dinamis, delalan penari perempuan itu berkisah tentang seluk beluk kekerasan, tidak hanya pada perempuan, tetapi juga fakta bahwa kekerasan sangat mungkin terjadi di sekitar kita, atau bahkan pada diri kita sendiri.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Tidak hanya pipi memar dan patah tulang, kekerasan juga bisa terjadi secara verbal, emosional, finansial, dan seksual. Ini sebuah fenomena yang tak banyak diketahui, dibicarakan atau dimengerti oleh semua orang. Maka setiap tindakan yang menyebabkan rasa takut akan disakiti, itu adalah bentuk kekerasan. Menurut Nabilla, tidak banyak perempuan yang mau terbuka dengan fenomena ini. Mereka merasa bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib dan tak perlu orang lain mengetahuinya.
Dalam seni gerak yang disuguhkan ke penonton ini, Nabila benar-benar mengeskplorasi kesedihan dan tak keberdayaan. Para penari menutup tubuh dengan selendang transparan, membungkam dan bergerak sesukanya dengan kendali alunan musik. Wajah mereka terlihat murung, sesekali mereka berkumpul dan berdialog dengan bahasa tubuh mereka masing-masing.
Komposisi karya ini memang terinspirasi dari pengalaman kognitif para korban kekerasan domestik yang telah terakumulasi. Dalam konteks ini sang koreografer,  seolah merefleksikan sekaligus mengajak penonton untuk menyadari, bahwa diam dalam kekerasan domestik adalah kesalahan. Seperti yang dikatakan Ninin Damayanti, salah seorang survivor yang tergabung dalam komunitas Break The Silence Indonesia, bahwa “ketidaksetaraan gender merupakan sebuah realitas sosial, dan kekerasan adalah suatu bentuk penyalahgunaan kekerasan dalam konteks sosial. Budaya partiarki sangat bergantung pada kekerasan dalam bentuk apapun yang dilembagakan. Ini adalah mekanisme untuk melanggengkan status quo patriarki dan dipertahankan secara politis melalui institusi yang ada dalam masyarakat”.Karenanya, dengan pentas ini kita didorong untuk bersuara, dan diajak untuk merasakan menjadi korban kekerasan, serta membantunya!

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan