'Parmalim' Kepercayaan Asli Suku Batak Toba


Setelah dua belas hari saya berpetualang di pulau samosir, saatnya saya harus bergeser, dan menjejakkan kaki ketempat tujuan berikutnya. Di temaram pagi yang remang, saya terjaga dan harus berkemas untuk melanjutkan perjalanan saya ke Parapat, salah satu kota kecil di pinggir Danau Toba, Sumatera Utara, tetapi kota ini bukan tujuan akhir saya. Sesampainya di Parapat, ada beberapa angkutan umum yang sudah nge-time, segera saya naik ke angkutan umum dengan tujuan Balige, lama perjalanan kurang lebih 1 jam dengan ongkos Rp 10,000, sampailah saya di Balige tepat pukul 12.00 siang. Tanpa pikir panjang, saya langsung mencari tempat penginapan.

Tak terasa, ketika malam berlalu begitu cepat, kokok ayam jago sudah membangunkan saya dari tidur, seolah alarm waktu yang harus saya patuhi. Dan motor matic sewaan pun sudah siap untuk menemani penjelajahan saya. Melintasi jalan perkampungan terlihat hamparan sawah yang hijau, perjalanan terasa cepat, dalam waktu 30 menit saya telah tiba di desa Huta Tinggi, Balige. Ya, tempat inilah pusat masyarakat Parmalim se-Indonesia. Setiap tahun dari segala penjuru, masyarakat Parmalim berkumpul di desa Huta Tinggi ini. Tak jauh dari halaman Bale Pasogit, ada satu rumah panggung, berlantai dua, dengan bangunan sederhana. Lantai atas di peruntukkan kaum pria, dan lantai bawah digunakan untuk kaum perempuan. Mereka berkumpul dan tidur bersama tanpa membedakan kelas sosial. Tempat inilah yang di sediakan oleh panitia upacara Sipahalima.
Pagi itu belum sempurna, langit terlihat gelap, sementara geliat di halaman Bale Pasogit sangat memukau. Seluas mata memandang, puluhan orang warga Parmalim hiruk-pikuk dan bergotong royong menyiapkan makanan dan mendekorasi di halaman Bale Pasogit. Tiga buah altar dihiasi janur, pernak-pernik dan bunga-bunga, disamping kanan altar berdiri kokoh bendera berwarna putih-merah-hitam, sebagai symbol bendera suku Batak.
Saat matahari mulai meninggi, ribuan penganut kepercayaan Parmalim berkumpul mengelilingi altar sebagai tempat persembahan. Warga Parmalim pria mengenakan jas dan berkemeja rapi, dilengkapi dengan sorban putih di kepala, dan mengenakan kain sarung serta Ulos yang terjuntai di bahu.  Sementara warga Parmalim perempuan mengenakan kebaya, kain sarung dan Ulos. Semua warga yang hadir di area halaman Bale Pasogit harus melepas alas kaki, sebagai symbol kesucian pada tempat yang akan di gunakan ritual Sipaha Lima.

Tak lama kemudian, alunan gondang atau ansambel musik tradisi Batak mengalun ritmik. Sajian persembahan daging kambing putih, ayam, dan ikan ihan (ikan yang hidup danau Toba) yang sudah dimasak diletakkan diatas altar. Sedangkan seekor kerbau sitingko tanduk siopat pusoran (bertanduk bulat dan mempunyai empat pusar di badannya) di ikat di didalam kandang yang terletak di sudut rumah Bale Pasogit, yang berhadapan dengan altar. Sesajian ini dipersembahkan kepada Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta alam semesta), dan setiap tonggo (doa) yang dilafalkan oleh pemimpin prosesi Sipaha Lima ini, diiringi alunan gondang yang berbeda, dimana gondang sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik.

Ketika terik matahari membelah keheningan, semua warga Parmalim yang hadir tertunduk-khusuk dan khidmat, dengan tangan terlipat di dada. Sebuah bentuk ekspresi hormat yang mendalam kepada Debata Mulajadi Nabolon. Rangkaian ritus religius inilah yang selalu di pertahankan oleh kepercayaan Parmalim, sebagai symbol keaslian dalam budaya Batak Toba.
Saat rapalan doa selesai, diteruskan dengan renungan yang dibawakan oleh pemimpin tertinggi Parmalim, Raja Marnangkok Naipospos. Dalam hitungan menit, mengalun musik gondang, semua warga Parmalim bangkit berdiri untuk memanjatkan tonggo (doa) sambil manortor mengelilingi altar tiga kali. Saatnya pemimpin tertinggi Parmalim memberikan Boras Sipirni Tondi (meletakkan sejumput beras di kepala), sebagai berkat agar semua warga Parmalim tetap bersemangat dalam menjalani penziarahan hidupnya. 

Malim diartikan suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Oppu Mulajadi Nabolon atau Debata (Sang Pencipta Langit dan Bumi). “Maka, Parmalim merupakan orang-orang yang mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” ujar Marnangkok. Parmalim merupakan kepercayaan tertua asli suku Batak Toba, dan dulunya hanya sebagai kepercayaan masyarakat Batak Toba pada masa penjajahan Belanda, dibawa oleh Raja Sisingamangaraja. 

Dalam perjalanannya, Raja Sisingamangaraja menanamkan sebuah ajaran kepada pengikutnya untuk menerima perkembangan jaman tanpa mengorbankan nilai-nilai spiritual Batak dalam masyarakat Parmalim, dikenal dengan istilah Parbinotoan Naimbaru (menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan sumberdaya manusia), Ngolu Naimbaru (menerima perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban, tanpa melanggar etika sosial sesuai tuntunan ajaran Parmalim), dan Tondi Na Marsihohot (tetap bertaqwa kepada Sang Pencipta) atau Debata Mula Jadi Na Bolon (melalui ajaran Sisingamangaraja tanpa dipengaruhi ajaran atau keyakinan lain).

Dalam kalender Batak memiliki perhitungan hari dan bulan. Setiap bulan terdapat 29 hari dan 30 hari. Dimana sebutan pada setiap hari berbeda, dan di hitung berdasarkan pengamatan tanda-tanda yang terlihat di langit, serta siklus bulan dan bintang. Ketika Raja menetapkan Sipahalima (bulan kelima), menandai musim panen, maka saat itulah seluruh masyarakat Parmalim memberikan hasil panennya sebagai pelean (persembahan). Minimal satu kaleng padi per rumah tangga.

Padi itu dikumpulkan dalam lumbung. Jika tidak ada padi, maka dapat ditukar dengan uang yang nilai rupiahnya senilai satu kaleng padi (16 Kg). Bagi warga Parmalim, takarannya adalah padi. Dengan kata lain, padi-lah yang menjadi kurs-nya.

Upacara Sipaha Lima secara umum adalah ritual untuk mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta. Dimana hasil jerih-payah mereka selama satu tahun di sisihkan sebagian untuk persembahan, yang sifatnya sukarela dan tidak ada patokan.





Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan