Refleksi Keindahan


Pada estetika lebih menekankan pengalaman subyek mengenai indah tanpa mencermati asalnya, apakah itu dari kesenian alami atau karya ciptaan manusia. Pendekatan filsafatnya tentang yang “indah”, artinya menanyakan apa yang menjadi dasar radikal sesuatu itu dinamai atau dialami indah, karenanya dalam estetika tak lepas dengan seni, baik seni lukis, patung, tari, musik dan seni yang lainnya. Maka karya seni hadir dalam hubungan yang kontekstual dengan ruang dan waktu. Dengan presfektif ini, kelahiran sebuah seni selalu dimotifasi oleh berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat, dan kemunculannya bisa merupakan representasi dan abstraksi dari realitas, tetapi bisa pula pendobrakan atas realitas tersebut. Maka seni bukan media langsung realitas, seni bukan sekedar imitasi realitas, melainkan sebuah dunia realitas baru hasil interpretasi si pembuatnya atas realitas sebenarnya. Bagi Aritoteles, imitasi yang dilakukan seniman terhadap alam (realitas) tidak berhenti pada peniruan sebagaimana di kemukakan Plato. Menurutnya, seniman mengelola realitas alam di dalam imajinasinya, itu sebabnya Aritoteles menyebutnya estetika sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber pada imajinasi. Proses mengelola realitas ke ruang imajinasi, dalam istilah umum sering disebut pencitraan. 
"Berburu Pekik", Karya Djoko Pekik, 200 x 400 x 100 cm, 2013   

Sesuatu yang dinikmati indah itu harus dipersepsi oleh indra, tidak semua yang dipersepsi indra bagus-bagus itu menimbulkan rasa estetis atau seni. Jadi fungsi seni membangkitkan pengalaman akan indah, berperan membuat orang-orang yang mengapresiasinya saling berbagi rasa dan menghormati kepekaan satu sama yang lain sebagai manusia, lebih radikal lagi untuk menentukan seni dan tidak seni, bukan di tentukan oleh intensionalitas atau faktualitas seni tetapi oleh apa yang dihayati, dirasakan, dan akhirnya disebut seni oleh masyarakat.

Ketika seni merupakan sarana untuk menanamkan dan membudayakan orang kedalam etos masyarakat, maka dalam etos inilah sebuah moralitas kecil. Jadi mengenalkan kita pada etos dan moralitasnya, memperkokoh dan  menjernihkannya demi keterlibatan atau komitmen kita dengan narasi contoh watak cita-cita nilai moral tinggi, dan dengan nilai kritik moral pada yang buta akan moral. Karena itu tidak mengherankan bila banyak seni didiskusikan dan dievaluasi, dinilai dalam konteks moralitas. Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan ada tiga penggolongan evaluasi seni secara moral antara lain, argumen secara Epistemik (kognitif), argumen secara Ontologis, dan argumen secara Estetis.  Hubungan seni dan moralitas ada dalam wilayah kebudayaan yang saling beriringan, bergandengan dalam berbagai cara oleh akal sehat kebanyakan orang yang dipandang alamiah,  dimana satu sisi menjadi sumber pencerahan untuk yang lainnya pada satu periode, dan pada periode lain ada yang berpendapat bahwa evaluasi moral sangat relevan untuk evaluasi estetis.

Menurut penulis, hal yang paling penting dari semua itu, ketika keindahan merupakan bagian dari seni, maka karya perupaan didekati dengan pendalaman batin. Meminjam ungkapan seorang kolektor seni rupa, Suteja Neka, “dimana karya seni lahir dari kedalaman batin, sehingga semua karya adalah belahan jiwa para penciptanya.” Dan seni dilahirkan bukan untuk menghamba pada materi, melainkan ia memancarkan cahaya kecerahan kepada setiap penikmatnya.



Sihol Sitanggang
Mahasiswa Extension Course STF Driyarkara

"JAVA" Karya Dadang Christanto, 2011



Daftar bacaan;

Mudji Sutirsno, SJ, Ranah-ranah estetika, Kanisius, 2010
SP Lili Tjahjadi, Makhluk Estetis, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
Alex Lanur, OFM, Yang Benar, dan Indah, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
SP Lili Tjahjadi, Estetika Immanuel Kant, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
Matius Ali, Estetika Masa Romantik, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
F. Budi Hardiman, Walter Benjamin tentang Pudarnya “Aura” karya Seni, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
A. Sudiarja, Kesenian dan Religi, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
J. Sudarminta, Keindahan Dalam Perspektif Filsafat Organisme, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
Mudji Sutrisno SJ, Jalan Seni dan Kebhinekaan Kita Sebagai Bangsa, Makalah Kuliah, STF Driyarkara, 2012.
Harian Kompas, 11 Desember 2007, halaman 16.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan