Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Sebagaimana kota tua lainnya disekitar Kaldera Toba, Pangururan awalnya dari sebuah huta, perkampungan komunitas Batak. Tidak ada catatan sejarah lokal, sejak kapan orang Batak mulai bermukim disana.

Diperkirakan ada generasi tiga marga raja di sana, yaitu: Sitanggang, Simbolon, dan Naibaho. Tiga marga ini sama-sama Batak generasi keenam, dihitung dari Siraja Batak pada garis turunan Isumbaon (Sumba). Itu artinya mereka sudah bermukim di Pangururan pada tahun ke-300 sejak komunitas pertama Batak. Diperkirakan umur etnis Batak baru 1,000 tahun. Dapat disimpulkan perkampungan Pangururan berdiri kira-kira pada tahun 1300-an atau abad ke-14.


Raja Sitanggang, gelar Raja Pangururan IV, diperkirakan berdiam di desa Saitnihuta (disekitar Lumban Suhi-suhi) sekarang, di Pangururan bagian utara, dikawasan pantai Tao Silalahi. Di tempat itu dulu terdapat Onan Tiga Urat, suatu pasar tradisional besar, pusat niaga di Samosir utara. Onan ini terbilang Onan Namarpatik, pasar yang dilindungi hukum adat, dibawah wilayah adat Bius Pangururan (semacam gabungan kampung se-Pangururan). Raja Sitanggang adalah Raja Bius Pangururan di masa itu.


Pada tahun 1907, pemerintah kolonial Belanda menaklukkan Tanah Batak,  Pangururan dijadikan ibu kota Onderafdeling Samosir. Sejak itu Pangururan mulai dikembangkan pemerintah kolonial sebagai sebuah kota, pusat politik dan ekonomi di utara Samosir. 


Di bidang ekonomi, pemerintah kolonial membangun terusan Tano Ponggol tahun 1907-1910, dan diresmikan 1913. Dengan dibangunnya terusan itu, maka Pangururan menjadi pusat niaga bagi kampung-kampung di utara Samosir, pesisir Tao Silalahi dan kampung-kampung di sisi barat Samosir dan danau Toba.


Disisi lain adanya politik adu domba, pemerintah kolonial melakukan politik pecah-belah. Untuk memutus dominasi marga Sitanggang. Bius Pangururan dipecah tiga menjadi Bius Sitanggang, Bius Simbolon, dan Bius Naibaho. 


Pemecahan bius itu memungkinkan marga Naibaho membuka Onan Tajur di area ulayatnya, di ujung selatan Tano Ponggol. Onan ini masih hidup sampai akhir 2010-an, walau pemerintah daerah sudah membangun onan baru di Desa Pardomuan I, arah tenggara Onan Tajur.


Pangururan mengalami perubahan revolusioner, dari parhutaan (kumpulan kampung) menjadi perkotaan kecil. Sepanjang masa penjajahan Belanda, dan sebenarnya hingga kini, Pangururan menjadi satu-satunya kota di Pulau Samosir.


Sejak tahun 1956, Kabupaten Tapanuli Utara terbentuk, Pangururan menjadi kota kecamatan yang terpencil, jauh dari Tarutung sebagai ibukota kabupaten, kota Pangururan kurang mendapat perhatian pembangunan. Setelah Kabupaten Samosir terbentuk pada tahun 2003, pembangunan kota Pangururan mulai menggeliat. Kota ini mengalami transformasi dari kota Kecamatan menjadi ibukota Kabupaten. 


Revitalisasi Terusan Tano Ponggol serta Pembangunan Jembatan Tano Ponggol sepanjang 465 meter, menjadi prioritas. Setelah proyek pembangunan selesai, kini memberi wajah baru, terlihat modern, ketika masuk pintu kota Pangururan, baik dari darat maupun dari danau.













Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pulau Seribu Kuburan