Jangan Lupakan Rawagede
Emak Wanti (92) di usia senjanya, hidup di sebuah rumah sangat sederhana bersama anak dan cucunya. Walau tubuhnya sudah renta, ingatannya masih prima. Peristiwa 64 tahun yang lalu masih terbayang jelas di kepalanya. Ketika itu, tepat tanggal 9 Desember 1947, ratusan lelaki, termasuk suaminya, dibariskan di tanah lapang di kampungnya Rawagede, Karawang, dan tanpa basa-basi, ratusan manusia itu dibantai secara membabi buta oleh pasukan Belanda.
Emak Wanti
adalah salah satu dari ratusan korban Rawagede yang masih bertahan hidup. Dalam
sisa hidupnya itu, Ia bersama yang lain, mengais sisa-sisa harapan, agar
peristiwa yang memilukan itu tidak begitu saja dilupakan.
Peristiwa 64
tahun silam adalah peristiwa kelam yang belum benar-benar tercatat dalam
sejarah bangsa Indonesia. Para korban yang masih bertahan hidup serta anak
keturunannya, seperti dibiarkan merana, menanggung derita sejarah.
Peristiwa
pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Belanda itu, terjadi karena
kemarahan yang gelap mata. Pencarian terhadap Kapten Lukas Kustarjo, seorang
Komandan Kompi I Batalion Siliwangi di Karawang, adalah penyebab utama
kemarahan Belanda. Pemimpin kelompok gerilyawan pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia itu, telah seringkali membuat Belanda kalang kabut. Tindak-tanduknya
telah benar-benar membuat Belanda marah. Sehingga, ketika terdengar kabar bahwa
Kapten Lukas beserta pasukannya bersembunyi di Rawagede, Belanda pun segera
mengobrak-abrik kampung itu.
Dalam
pencarian terhadap Kapten Lukas, Belanda yang tidak menemukan jejak Lukas di
Rawagede, mengumbar kemarahannya. Korban tewas
diperkirakan antara 150 hingga 431 orang, yang
kebanyakan adalah laki-laki. Tak pelak banyak sekali perempuan-perempuan yang
menjadi janda seketika, salah satunya adalah Emak Wanti.
Rawagede dulu
adalah sebuah kampung yang letaknya strategis. Ia berada di perlitasan kereta
api Rengasdengklok-Karawang, dan ada sebuah stasiun di situ. Kini, lintasan
kereta api itu sudah tidak lagi terpakai. Lintasan itu kini menjadi akses warga
ke persawahan. Sisa-sisa jembatan kereta di Desa Kalangsuria, Rengasdengklok
yang berbatasan dengan Rawagede, masih tampak dengan jelas. Besi bekas jembatan
itu masih terlihat kokoh dan sering dipakai untuk lalu lintas warga.
Rasanya,
sangat sulit, jika kini, kita ingin mencari kembali jejak-jejak peristiwa kelam
serta perjuangan berdarah di Rawagede. Termasuk untuk mencari titik-titik
dimana pembantaian massal itu terjadi, diantaranya Stasiun Kereta Api, Kali
Rawagede, atau lapangan kuburan Cina. Saat ini, titik-titik sejarah itu seperti
telah berdamai dengan masa, dan melebur hilang bersama waktu.
Namun pada September
2011, titik-titik sejarah itu, seperti mulai bangun dari lelapnya. Ia digelitik
oleh sebuah berita mengejutkan dari Den Haag. Pengadilan Sipil Den Haag,
Belanda, memenangkan gugatan atas peristiwa Rawagede, 9 Desember 1947. Bagi Janda-janda korban tragedi Rawagede,
kemenangan ini adalah sebuah harapan baru. Seperti yang di ungkapkan Emak Wanti, “Mana atuh duitna, tong lila-lila teuing nke urang kaburu maot,
teu bisa ngarasakeunana” (Mana uangnya, jangan lama-lama
nanti saya mati, tidak bisa merasakannya). Emak Wanti
dan para janda Rawagede
ini hanya berharap, kompensasi nyata dari Pemerintah Belanda. Sebuah
kompensasi yang diharapkan dapat membeli sebuah rumah, agar mereka dapat
tinggal di rumah yang lebih layak.
Harapan yang
tidak muluk dari para janda Rawagede itu adalah bagian dari kotak-kotak ingatan
sejarah bangsa. Kotak-kotak sejarah kelam perjuangan bangsa Indonesia yang adalah
noktah penting serta tidak boleh terlupakan. Ia harus menjadi semacam monumen
peringatan, bahwa kemerdekaan adalah hal yang begitu mahal, karena mesti
ditebus dengan ratusan bahkan ribuan nyawa tak berdosa.
Seperti yang
diungkapkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya untuk menghormati peristiwa
Rawagede yang berjudul Kerawang-Bekasi.
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan
harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata …..
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata …..
…. Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami …..
Teruskan, teruskan jiwa kami …..
Bahwa
perjuangan merebut kemerdekaan adalah akumulasi harapan akan kehidupan yang
lebih baik dari sebuah bangsa. Dan satu-satunya bayaran yang setimpal dari
perjuangan itu, adalah penghargaan terhadap kenangan, penghargaan terhadap
jiwa-jiwa yang telah berkorban. Penghargaan untuk tidak pernah Lupa.
Oleh:
Lucia Dianawuri & Sihol Sitanggang
Terbit di Majalah VOICE+ edisi 13 Agustus 2014
Terbit di Majalah VOICE+ edisi 13 Agustus 2014
Comments
Post a Comment