Si Anak Hilang Telah Pergi ke Surga
(Obituari
Sitor Situmorang)
Siang itu, minggu, 21 Desember 2014, beberapa status di media sosial
menuliskan, bahwa Sitor Situmorang meninggal dunia di Apeldoom, Belanda. Sastrawan
angkatan 45 ini mengembuskan napas
terakhirnya di usia 90 tahun. Dimasa hidupnya
Sitor membuat wasiat yang termaktub di dalam sajak bertajuk “Tatanan Pesan
Bunda”. Dimana Sitor ingin dimakamkan di tanah kelahirannya, berdekatan dengan
ibunya di Harian Boho, Samosir.
Setibanya dari belanda, selasa, 30 Desember 2014, jenazah Sitor
disemayamkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Malam itu, sejumlah tokoh hadir
untuk memberikan penghormatan terakhir atas kepergian Sitor Situmorang. Dalam
sambutannya, Anis Baswedan menyampaikan bahwa perjalanan hidup Sitor bukan
hanya membekas pada zamannya, tetapi makna kehadirannya masih bisa kita rasakan
sampai saat ini.
Dalam pejalanan seninya, sejak
kecil Sitor menghabiskan waktu dilingkungan tradisi sastra lisan
berbahasa Batak. Darah seninya lebih terasah saat Ia mengenyam pendidikan HIS di Balige dan
Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Jakarta. Ia memperdalam studi
sinematografi di Los Angeles, California, Amerika Serikat (1956-1957). Bermukim
di Singapura (1942), Amsterdam (1950-1951), Paris (1952-1953). Sejak 1984 dia
tinggal di Leiden dan Den Haag, Belanda.
Karya-karya sajak Sitor sarat makna, dan renungan sebagai pengalaman
religiusnya. Ia semacam Penyair Agung, yang terus berkarya selama kurang lebih
60 tahun, dan menghasilkan ratusan sajak. Dengan karya sastra ini, diharapkan
sebuah proses humanisasi serta kritik atas budaya dan sejarah dapat di
kuminikasikan. Dimana sajak atau puisi juga menjadi kritik atas hidup.
Salah satu karya Sitor, esai “Sastra Revolusioner” yang fenomenal inilah
yang menjebloskannya ke dalam penjara pada era orde baru (1967-1975), tanpa
proses peradilan, dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Saat di dalam tahanan,
ia merilis dua karya sastra yang berhasil digubahnya, yakni “Dinding Waktu” dan
“Peta Perjalanan”.
Dalam karyanya yang lain, tak kalah menarik. Yang mana sumber-sumber
lisan dijahitnya menjadi narasi ber-genre
sastra. Seperti pada buku bertajuk “Toba Na Sae” dimana didalamnya bercerita
tentang sejarah dan silsilah, lebih jauh lagi, ia menceritakan mata rantai suku
Batak. Dan melebur dalam dinamika sejarah Batak.
Sebagai pewaris tradisi Batak Toba, Sitor seolah membangkitkan minat
terhadap warisan masa lalu, sebagai asal-usul sejarah kebudayaan Batak yang
merupakan tempat kelahirannya. Karenanya, Jenazah Sitor mendapat upacara
kematian tradisi Batak, yang disebut Saur
Matua. Tradisi kematian inilah yang dilakukan untuk penghormatan terakhir
secara adat Batak, mengingat Alamarhum Sitor telah menikahkan semua anaknya dan
sudah dikarunia cucu dari putra-putrinya.
Dalam tradisi adat Batak, upacara kematian seperti
inilah yang didambakan oleh semua suku Batak Toba. Dalam mitologi Batak Toba, makna utama dari
upacara Saur Matua ini adalah agar
kedudukan Sahala (kemuliaan)
arwah orang tua bisa naik hingga setingkat para Dewa. Maka pada upacara
adat ini, orang yang sudah meninggal Saur
Matua pada umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan), supaya Sahala arwah naik ke Surga dan mereka
juga akan mendapatkan berkat Sahala dari orang tua
yang sudah meninggal.