Membaca Karya Raden Saleh


Bila kita menyaksikan karya-karya Raden Saleh, kita tidak bisa mengingkari kehebatannya dalam penguasaan tehnik dan gaya lukisan Barat saat itu. Dimana kekuatan ideasionalnya begitu dasyat, sehingga kita tidak sanggup menolak, seolah ditarik untuk berkomunikasi dengan karya-karyanya.

Pameran bertajuk “Aku Dipenogoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh” hadir kembali melalui sudut pandang pelukis klasik, seniman kontemporer serta publik. Pameran ini dikurasi oleh Dr. Werner Kraus, Jim Supangkat, dan Dr. Peter Cerey. Berlangsungnya pameran ini, di prakarsai dan dikoordinasikan oleh Goethe-Institut Indonesia dan bekerjasama antara Goethe-Institut, Galeri Nasional Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kedutaan Besar Jerman di Indonesia, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Erasmus Huis, Djarum Foundtion, Yayasan Taut Seni, Galeri Jurnalistik Antara, dan Universitas Paramadina. Berlangsung dari tanggal 6 Februari hingga 8 Maret 2015, di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.


Karya Raden Saleh sering disapa, terbukti pada pameran yang lalu, Juni 2012. Dalam waktu dua minggu dikunjungi kira-kira 20,000 pengunjung. Artinya makna dari nilai estetis karya seninya, seperti intelektual dan perasaan tersampaikan ke publik. Ia dianggap sebagai cermin suatu wawasan, visi, dan kedalaman suatu perenungan.
Pada karya Penangkapan Dipenogoro misalnya, ini merupakan gema yang muncul pada diri subject. Dimana kita dapat mencecap isi karyanya. Yang mau diungkap adalah representasi filosofis, religius, atau semangat perlawanan.

Bila kita membaca lebih jauh lagi karya Raden Saleh, menurut Jim Supangkat, lukisan perburuan yang dibuat Raden Saleh sebagai simbol kebiasaan kaum feodal, dilukiskan binatang buruannya lari, si pemburu mengejar dari belakang. Lalu antara pemburu dan binatang seolah melakukan perang, dimana dalam komposisi yang dibuatnya adalah sang- buruan melakukan perlawanan.

Dalam hal ini binatang buruan itu representasi kita, sebagai yang terjajah saat itu, dan si pemburu adalah yang menjajah kita.


Maka, pada pameran kali ini merupakan suatu bentuk wacana, juga sebagai pengingat masyarakat Indonesia saat melawan kolonialisme Belanda dalam perang Jawa (1825-1830).


Pejaten Barat, Maret 2015

Sihol Sitanggang
Photojournalist dan Penikmat Seni


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan