Memahami Hakikat Manusia *)


Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk menyadari diri, selain itu, manusia juga memiliki kemampuan bereksistensi. Dalam bereksistensi, manusia mampu menembus dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Dengan kata lain, manusia tidak terbelenggu dengan ruang dan waktu, tetapi ia menapakinya sebagai penziarahan hidup, baik masa lampau maupun ke masa depan. Adapun kemampuan bereksistensi yang dimiliki manusia, tentunya terdapat unsur kebebasan pada diri manusia. Di dalam kehidupan setiap manusia, kebebasan adalah suatu unsur hakiki. Kita semua mengalami kebebasan, kesulitannya bila kita ingin mengungkapkan pengalaman itu menjadi taraf refleksi. Maka salah satu tugas filsafat ialah secara kritis merefleksikan serta menjelaskan apa yang kita alami secara spontan. Karena kebebasan merupakan unsur penting dalam pengalaman kita sebagai manusia.
  Lebak Banten, 2014


Pemahaman akan realitas eksistensi diri adalah pedoman untuk setiap pilihan. Dalam ajaran pokok Driyarkara di dunia sosial yaitu, "manusia adalah kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya (homo homini socius), pemikiran ini dipakai untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitas, sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Maka Driyakara memberi sumbangan pemikiran dimana banyak dipengaruhi oleh aliran eksistensialisme, fenomenologi, dan personalisme.

Maka dalam memahami hakikat manusia perlu disadari ada beberapa pendalaman disiplin ilmu, diantaranya, sosiologi, phisikologi, antropologi, etnologi, dan filsafat tentunya. Dengan adanya disiplin ilmu ini maka dapat memberikan sumbangan pengetahuan atau formulasi tentang manusia itu sendiri dari berbagai aspek yang penting.
Dari tinjauan filsafat modern, ada rumusan tentang manusia sebagai Geist in Welt (Roh yang berada didunia), artinya, pertama-tama manusia itu adalah roh, tetapi keberadaannya di dunia tidak membuatnya seperti malaikat, melainkan sungguh-sungguh sesuatu yang duniawi (jasmani). Dari rumusan itu, dapat dikatakan manusia terletak seperti barang jasmani lain (ia “apa”), tetapi karena aspek pengertian rohaninya (cipta dan karsa atau budi dan kehendak), manusia mengerti ia bukan hanya “apa” tetapi juga “siapa”, ia bukan saja ada tetapi mengerti bahwa ia ada sehingga dapat berdiri sendiri. Pengalaman ini menjadi perenungan filosofis tentang manusia, “Aku ini Ada dan Aku ini Aku”. Manusia pada hakikatnya mampu mengatasi materi, ia adalah roh yang memahami kejasmaniannya. Ia adalah roh yang bermateri, karenanya ia disebut persona (pribadi).

"Jogja Bike" Karya Sulung Widya Prasastya, Acrylic on Canvas, 2011

Begitu pula pandangan materialisme yang mengatakan manusia hanya badan (fisik), dan menaggapi keterbatasannya. Karena tidak mampu menjelaskan mengapa manusia mampu mencinta, bersedih di depan kematian, dan luka bila disakiti badan dan hatinya. Proses terhadap fisik dalam hominisasi sekaligus bersama proses dewasa dalam humanisasi dimensi kerohanian hingga si persona atau pribadi tampil manusiawi secara badani sekaligus rohani.
Secara filosofis, hubungan manusia dengan Tuhan dipengaruhi dalam dua ciri eksistensi, antara lain, pertama manusia sebagai faktisitas, melihat dirinya sebagai yang sudah ada, fakta dari asalnya, kedua manusia sebagai transendensi, merupakan sebuah fakta, manusia melampaui batas-batas tertentu yang dikenakan terhadapnya oleh faktisitas itu. Maka agama sebagai kepercayaan manusia kepada Tuhan merupakan realitas secara hakiki dari kodrat manusia. Ia adalah panggilan kodrati bagi eksistensinya. Tetapi manusia tetap memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak panggilan itu.
Dalam hal ini, maka ajaran moral dalam suatu agama dianggap penting. Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkap kehendakNya. Ajaran moral ini diterima karena alasan keimanan. Namun demikian, nilai-nilai dan norma moral tidak secara eksklusif diterima  karena alasan keagamaan, ada juga alasan-alasan lebih umum untuk menerima atauran-aturan moral. Bisa kita tunjukkan alasan rasional untuk menerima aturan, seperti jangan membunuh, jangan berdusta dan sebagainya. Dalam filosofis moral justru diusahakan untuk menggali alasan-alasan rasional bagi nilai-nilai dan norma-norma yang kita pakai sebagai pegangan bagi perilaku moral kita. Berbeda dengan agama, dimana filsafat memilih titik tolak pada rasio dan selanjutnya mendasar pada diri hanya atas rasio.

Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan, yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Artinya bahwa perbuatan itu berasal dari inisiatif bebas manusia itu. Karenanya, dikatakan bahwa manusia sendiri menjadi sumber nilai moralnya. Manusia membuat tingkah lakukanya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal ini tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari kebebasan manusianya. Dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandalkan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas.

Jika kita melihat pada diri manusia menjadi baik secara pribadi, salah satunya karena keutamaan. Keutamaan selalu merupakan suatu ciri individual. Salah satu contoh sebuah lembaga atau NGO, bisa disebut jujur bukan sebagai lembaga atau NGO tetapi karena semua karyawannya memiliki kejujuran sebagai keutamaan. Namun, sejalan dengan keutamaan yang bersifat pribadi terdapat juga suatu karakteristik yang membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral, yakni ethos. Memang benar, bahwa keutamaan sebagai paham jauh lebih jelas dari pada ethos. Dalam hal ini makna istilah ethos belum dikristalisasi penuh. Tetapi jika kita menyimak kata itu sebagaimana dipakai sekarang, terlihat tendensi paralelisme antara keutamaan dan ethos, dimana yang pertama dikhususkan untuk pribadi, sedangkan yang kedua menunjuk terutama kepada kelompok. Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang diambil alih dalam banyak bahasa modern, persis dalam bentuk yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu, karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Dalam bahasa-bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. Dalam arti ini sering kita dengar tentang ethos kerja, ethos profesi, dan sebagainya. Disini ethos menunjuk kepada suasana khas manusia yang meliputi kerja atau profesi.  
Untuk menjelaskan apa itu suatu nilai, tidaklah hal yang mudah. Setidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi manusia, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang kita inginkan, singkatnya sesuatu yang baik. Nilai adalah sesuatu yang kita amini, atau yang kita iakan. Dimana nilai selalu mempunyai konotasi positif. Secara implisit nilai sudah lama memegang peranan dalam pembicaraan filsafat. Sejak Plato menempatkan ide “baik” paling atas dalam hirarki ide-ide. Setelah Plato, kategori “baik” praktis tidak pernah lepas dari fokus perhatian filsafat.
Pada pembahasan Mark dalam konsep manusia, mendekati pertanyaan tentang natur esensial manusia dan sebagian besar mengacu kepadanya, dari sudut pandang jenis “aktifitas” atau “kehidupan” yang terkait dengannya, dengan alasan bahwa “keseluruhan karakter dari suatu species, karakter speciesnya” diwujudkan dalam jenis “aktifitas hidupnya”. Karena hubungan keduanya, tidak sulit untuk mengidentifikasi apa yang dianggap oleh Mark sebagai natur manusia dari apa yang ia indikasikan sebagai jenis-jenis karakteristik “aktifitas kehidupan” dalam kehidupan manusiawi yang murni. Ia meletakkan tekanan yang terbesar pada produksi, pekerjaan, kehidupan produktif adalah kehidupan dari spesies manusia. Ia juga menetapkan sifat esensial bagi kedua jenis kehidupan yang lain, yaitu “kehidupan sosial” atau eksistensi dalam persahabatan dengan orang lain, dan “kehidupan indrawi” atau  perkembangan dan kesenangan pancaindra.
"The Warrior" Karya Dhanoe Pujisampurno, Acrylic, Pencil Colour on Canvas
Rincian terhadap kedua jenis “kehidupan” tersebut mengindikasikan bahwa manusia sebagai mahluk sosial dan indrawi secara esensial. Mungkin tidak dapat langsung terlihat jelas “karakteristik spesies” apakah yang dikaitkan dengan produksi, tetapi bagi Marx, aktifitas produktif mempunyai kaitan dengan dimensi individualitas atau personalitas, dan bahwa melalui aktifitas tersebut, personalitas, dan melaui aktifitas tersebut, personalitas individual tersebut terungkap, dan dengan demikian mewujudkan dirinya sendiri. Bagi Marx, karakteristik esensial manusia adalah individualitas, sosialis, dan indrawi.
Pada pembahasan lain dalam filsafat, ada sebuah tesis mengenai intensionalitas kesadaran, yakni bahwa kesadaran manusia selalu mengarah pada obyek tertentu (bersifat intensional). Kata “intensi” disini mengacu pada keterarahan kesadaran pada suatu obyek. Maka, kesadaran manusia itu tidaklah kosong, melainkan selalu memiliki obyek tertentu. Manusia tidak hanya merasakan, melihat, mencintai, takut, melainkan merasakan perasaan tertentu, melihat sesuatu, mencintai seseorang, takut pada obyek tertentu, dan sebagainya. Dalam bentuk kesadaran apapun seperti persepsi, imajinasi, pemikiran, harapan, selalu ada hal yang menjadi obyek kesadaran tersebut. Kesadaran (consciousness) itu selalu berarti kesadaran akan sesuatu.
Dalam eksistensi sadar dan status kesadaran manusia, Descartes dengan kesimpulannya yang terkenal bahwa selama saya berpikir (atau sadar mengenai pemikiran saya), maka saya ada (cogito, ergo sum). Maka eksistensi saya dibangun atas dasar kenyataan bahwa saya dapat berpikir dan saya bahkan sadar juga mengenai diri saya yang dapat dan sedang berpikir. Dengan kata lain, kesadaran manusia adalah segala-galanya, dan kesadaran ini tidak bisa dan tidak perlu berkontak langsung dengan dunia  dan obyek-obyek di dalamnya.
"Difference" Karya Dhanoe Pujisampurno, Acrylic, Pencil Colour on Canvas 2013

Dalam konsep jiwa pada antropologi filosofis, kita perlu mencatat bahwa naturalisme paling radikal pun tidak menolak adanya realitas internal organisme. Sejak lama kita kenal dengan istilah “naluri” atau “insting”. Maka jiwa itu sendiri merujuk pada sesuatu yang hidup, kehidupan dalam arti individual. Sebagai sesuatu yang individual, jiwa bersifat immortal dan ada pada semua mahluk hidup, manusia, binatang dan tumbuhan. Karenanya, ketika mempersoalkan imortalitas tak terlepas dari pemikiran tentang jiwa.
Kita boleh juga mengatakan bahwa apa yang kita sebut jiwa tidak lain dari pada transendensi organisasi diri suatu organisme. Karena tidak lain dari sesuatu yang lebih atau yang melampaui, dalam teori sistem dapat disebut transendensi. Dalam penagguhan pemuasan naluri diri individu secara alamiah memungkinkan terciptanya kehidupan batin yang kompleks, yaitu jiwa individu.
Menurut kajian psikologi humanistis, bahwa aliran ini juga ingin menunjukkan adanya kekuatan lain yang melampaui batiniah dalam diri manusia. Dimana kekuatan lain itu adalah makna atau nilai, maka individu adalah makhluk yang mencari makna dan mewujudkan dirinya lewat penemuan makna itu.

Rujukan :
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kedua, 2007
K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kesebelas, 2011
Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Cetakan Pertama, 2012
Richard Schacht, Alienasi: Pengantar Paling Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, Cetakan Kelima, 2009
Jurnal Filsafat dan Teologi, Diskursus, Lembaga Penelitian Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Jakarta, Edisi 8, 2009
Setyo Wibowo, Jiwa, Majalah Basis, Nomer 01-02 Tahun ke 62, Yogyakarta, 2013
B. C. Triyudo Prastowo, Prof. N. Driyarkara: Pentingnya Personisasi, Majalah Basis, Nomer 00-19 Tahun ke 62, Yogyakarta, 2013
Thomas Hidya Tjaya, Menyingkap Hakekat Manusia, Makalah kuliah, Extension Course Filsafat, STF Driyarkara, 2014h
Herry Priyono, Berburu Makhluk Ekonomi, Makalah kuliah, Extension Course Filsafat, STF Driyarkara, 2014
Franz Magnis Suseno, Manusia dan Pekerjaan, Makalah kuliah, Extension Course Filsafat, STF Driyarkara, 2014
Karlina Supelli, Manusia dan Upaya Memahami Kosmos, Makalah kuliah, Extension Course Filsafat, STF Driyarkara, 2014
S.P. Lili Tjahjadi, Manusia dan Tuhan, Makalah kuliah, Extension Course Filsafat, STF Driyarkara, 2014

*) Tugas paper materi extension  course

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan