Fotografi, Iman, dan Tugas Panggilan Untuk Sesama.


Memasuki halaman gereja Santa Maria yang terletak di bilangan Pasar Baru, Jakarta Pusat, kita dapat merasakan kesan kokoh dan anggun saat memandang gedung gereja itu. Gereja bersejarah ini bergaya arsitektur Neogotik, kira-kira berusia 100 tahun lebih. Awalnya gedung gereja ini adalah rumah milik Jenderal De Kock, dijaman pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tanggal 6 November 1829, gereja Santa Maria ini diberkati oleh Monseigneur Prinsen. Berjalannya dengan waktu gereja ini mengalami beberapa kali renovasi.

Pada bagian dalam gereja terdapat Cathedra atau takhta Uskup, berada di dekat Altar Utama. Takhta ini terdiri dari 3 kursi, dan terpasang lambang Uskup Agung yang sedang menjabat. Dengan memiliki takhta ini, maka pantaslah gereja Santa Maria ini mendapat sebutan ‘Gereja Katedral’, sebutan inilah yang menjadi pupuler dimasyarakat sampai saat ini.

Disisi lain gereja juga terdapat ruang Altar Maria, yang berhadapan dengan ruang Altar Santo Yosef, sejajar dengan Orgel, yang bercorak Neogotik. Lantai dua gereja terdapat museum, dulu tempat ini digunakan untuk paduan suara saat upacara misa. Kesederhanaan dekorasi bangunan ini menjadi ciri khas langgam Neogotik. Langgam ini memadukan dari Gotik, Klasik dan Romantisme.

Beberapa abad silam, dalam membangun gedung gereja, para arsitektur Neogotik seolah mengekspresikan citra-citra sebagai bagian dari tiap individu dalam karya-karyanya. Karenanya, arsitektur gereja merupakan seni bangunan gereja. Tentunya tetap menjaga hal-hal yang sakral dan profan.

Dimensi nilai estetis religius merupakan dasar fundamental dari bagunan fisik gereja sebagai rumah doa. Dalam tataran dimensi religious, beragam keinginan baik dari berbagai kalangan. Seperti yang dilakukan oleh empat orang fotografer Dian Rosita, R. Haryanto, Kun Tanubrata, dan Sjaiful Boen, pada pameran fotografi yang bertajuk “Four Angles” di lantai dua Gereja Katedral, Jakarta. Pada pameran kali ini, memajang enam puluh foto, dari berbagai angle dengan object gedung Gereja Katedral.
Pameran Fotografi "Four Angles" di Katedral Jakarta, Desember 2014

Uskup Agung Jakarta, Ignatius Suharyo, dalam sambutannya di katalog pameran menuliskan, bahwa “dengan refleksi seni rupa foto, kita sedang menatap cita rasa seni yang tersimpan dalam khasanah Gereja Katedral”.  Ketika empat fotografer ini melukis dengan cahaya, secara realistik mencerminkan konsep “representasi” yang diawali pada perkembangan filsafat. Yang mana ketepatan menyalin realitas merupakan persoalan mendasar. Disini, representasi adalah “bangunan” yang persis sama dengan “bangunan” realitas, bedanya yang satu artifisial (berupa gambar) yang lainnya real. Dari keyakinan sebuah kesamaan ini muncul kepercayaan bahwa penemuan kebenaran pada representasi bisa diartikan penemuan kebenaran pada realitasnya.

Dengan kamera Large Format, Haryanto menentukan sudut pandangnya pada bagian interior bangunan Gereja. Perhatian ini didasarkan pada kemampuannya menghasilkan salinan visual yang lebih jelita, bahkan lebih indah dari aslinya, seperti pada foto yang bertajuk ‘Ketedral Jakarta’. Kepiawaiannya dalam menentukan exposure dengan spot meter, serta mengatur intensitas cahaya dan kontras pada zone system menjadikan foto yang dihasilkannya menjadi sempurna. Hal ini menjadi tantangan yang sangat menarik bagi Haryanto, kendati, semuanya dilakukan dengan konvensional.
Repro: "Katedral Jakarta" karya R. Haryanto, Printed on Photographic Paper, Multi Grade  

Bidang-bidang lengkung yang tertangkap lensa, menjadi ke-khasan arsitektur Neogotik. Pola lengkung berujung patah yang membentuk ambang pintu, jendela, hiasan pada langit-langit, tiang, kaca patri dan pagar, pada gaya arsitektur ini sering disebut Pointed Architecture. Dian Rosita dalam karyanya menangkap bidang lengkung ini, seperti pada foto bertajuk ‘Door Ornament’, atau pada karya-karyanya yang lain yang juga dipamerkan saat ini. Terlepas dari estetis yang selalu memanjakan mata, Rosita seolah menghadirkan romantisme gaya arsitektur klasik, yang masih diminati sampai saat ini. Dalam pandangan saya, pengalaman kognitifnya mempengaruhi penalaran dalam karyanya, sekaligus menyakini bahwa keindahan dengan dimensi grafis, atau visual menjadi kekuatan seni.
Repro: "Door Ornament" karya Dian Rosita, Printed on Photographic Paper, Multi Grade

Saat kita mencoba memahami seni visual, tanpa disadari sama dengan melatih ilusi sebagai imajinasi, seperti yang kerap dilakukan oleh para perupa, yang  membiasakan mata melihat representasi dua dimensi ruang seakan menjadi tiga dimensi, hal ini yang secara semu dijadikan titik pusat pandangan audience-nya. Ini menjadi universal jika digunakan oleh setiap orang untuk memahami karya seni rupa. Menyadari hal ini, pada pameran ‘Four Angles’ Sjaiful Boen menvisualkan bagian ekterior gedung Gereja, yaitu structure menara, menara Angelus Dei, dan atap gedung Gereja. Dimana citra-citra ini tercetak pada  media logam, berupa plat tembaga.

Warna coklat kemerahan menjadi ke-khasan logam tembaga, selain mudah ditempa, logam ini juga tidak reaktif secara kimiawi. Dalam mitologi Yunani, tembaga selalu dikaitkan dengan Dewi Venus, yang cantik dan indah. Dari keindahan ini diantaranya lahirlah karya yang bertajuk ‘Harmony’, dengan sapuan tipis cat kuning dan merah dibagian pinggir ke empat sisinya. Sjaiful seolah membingkai dan menggaungkan ke harmonisan, yang harus kita rawat dan perjuangkan terus-menerus di bumi ini.
"Harmony" Karya Sjaiful Boen, Printed on Cooper Plate

Dari imaji-imaji yang terkumpul, perlahan menghasilkan fragmen-fragmen visual yang dikerjakan selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dan dihadirkan dengan spontan, seolah merangkai  impresi yang ingin dikomunikasikan. Kombinasi bentuk object, warna dan beberapa teks dari kalam Ilahi yang termaktub di dalam kitab suci (Alkitab) menjadi satu kesatuan ungkapan yang bermakna. Pada karya Kun Tanubrata yang bertajuk ‘Love your enemies, and pray for those who prosecute you’, seperti menyampaikan ungkapan yang ia yakini. Manifestasi keberadaan sang Ilahi terwujud pada makhluk ciptaanNya, termasuk benda-benda yang ada disekitar kita.
Repro: "Love your enemies, and pray for those who prosecute you" karya Kun Tanubrata, Printed on Photographic Paper

Kesabaran Kun dalam menyelesaikan karyanya meleburkan diri bersama Jiwanya untuk menghidupkan kreatifitas dan pemikirannya. Warna monochrome pada foto Bunda Maria, yang diberi judul ‘Bless Art Thou Among Women’ menjadi ikon keteladanan, kekudusan dan kesempurnaan dalam ajaran Katolik. Dengan kata lain, Maria menjadi gambaran yang sempurna bagi Gereja. Meminjam ungkapan Ignasius Suharyo, “Foto menjadi perbincangan antara seni dan iman yang memperkaya dan bercahaya”. Karenanya karya-karya foto yang terpajang dalam  Pameran ‘Four Angles’ ini semacam dialog iman yang universal, membebaskan dari suku, agama dan ras.
Repro: "Bless Art Thou Among Women" karya Kun Tanubrata, Printed on Photographic Paper

Lebih dalam lagi, bahwa transformasi ekspresi seni ditentukan oleh sikap perupanya untuk tanggap terhadap keadaan sekitarnya, lalu peduli hati dan nurani, nah.. disinilah tugas panggilan untuk masyarakat. Dalam catatan kuratorialnya, Justinus Sigid Prasadja menyampaikan, ‘Pameran fotografi ini adalah hasil empati empat fotografer yang meyakini bahwa suara hati untuk orang miskin dan pendidikan masih bisa mendapat tempat’. Dan hasil penjualan karya fotografi pada pameran ini akan disumbangkan kepada warga miskin dan membantu pendidikan.


Pejaten Barat, 24 Desember 2014

Sihol Sitanggang
Fotojurnalis dan Penikmat Seni


Pameran belangsung tanggal: 13 Desember 2014–31 Januari 2015, di Museum Gereja Katedral, Lantai 2.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan