Memaknai Waktu Dalam Sebuah Karya Seni
Kali ini, di Galeri Nasional Indonesia
ada yang berbeda, dimana para pengunjung di arahkan masuk melalui pintu
belakang Galeri. Pameran tunggal Hanafi yang bertajuk “Pintu Belakang | Derau
Jawa” di kuratori oleh Agung Hujatnikajennong. Dalam
pameran ini, kita di ajak untuk melihat bagaimana Jawa sebagai
sebuah “bungkusan identitas,” dimana identitas adalah sebagai label sosial yang
tertempel pada kita. Nah, identitas ini kita terima dari tempat dan kelompok,
di mana kita lahir.
Pada
pameran ini, Hanafi terinspirasi dari mitos dan kisah keseharian masyarakat
Jawa yang nyaris terlupakan. Seperti pada karya yang berjudul “Headaches – Fever,” kita di suguhkan
dengan visual yang unik, tersusun berderet enampuluh buah kempul berbahan aluminum, di setiap kempul bertuliskan “buyer”. Karya ini mengingatkan pada sebuah
produk obat-obatan modern saat ini.
Dahulu komunitas Jawa lebih mengenal jamu sebagai pengobatan, dengan
perkembangan jaman yang tradisional di lupakan, maka beralih ke obat modern. Sekarang,
Jamu dan herbal kembali menjadi pola pengobatan majemuk.
Dalam lingkungan seni rupa
yang di jalani Hanafi, terbentuk dalam tradisi dimana sejumlah media yang di pilih
menjadi visualisasi yang di pahami sebagai pencarian dan pengukuhan identitas
estetis. Lahirlah karya berjudul “Clogs And a Baby Stroller,” karya ini menjadi
pengingat masa lalunya, yang masih kental dengan tradisi. Ia hanya ingin mengenang
sosok sang ayah, yang selalu menggunakan bakiak. Sejumlah 150 bakiak
di susun teratur, ada yang di lantai, ada juga yang menempel di plat besi
berbentuk piramida “Demografi dalam Bakiak.”
Hanafi berusaha untuk membuka
kembali dialog kawasan historis dunia Jawa. Ilusi tentang teritori identitas
dalam demografi Jawa memasuki noise sejarahnya yang panjang melalui
berbagai gelombang migrasi maupun diaspora keluar dan kedalam, di masa
perbudakan maupun masa kolonial.
Dalam
berkesenian, Hanafi berusaha untuk mengingat pengalaman masa lalunya, tentang
pemahaman Jawa secara objektif. Pengalaman reflektif ini menjadi gagasan awal
untuk pintu masuk proyek “Pintu Belakang | Derau Jawa”.
Dalam
peratarungan visualnya, Hanafi mengimajinasi lain tentang Jawa, yaitu “Pintu
Belakang,” yang berhubungan dengan budaya kita, maka ada yang kita kenal dengan
istilah “Jalan Belakang” terkait dengan berbagai hubungan informal tanpa
publik. Metafor visual ia ciptakan untuk menjadi narasi simbol. Seperti karya
berjudul “Well” yang terlihat di
halaman depan Galeri Nasional. Sejumlah batu bata tersusun melingkar membentuk
sebuah sumur dengan kerangka besi menjulang tinggi. Hanafi menarasikan kode-kode
dan tanda-tanda yang berpotensi multi tafsir. Dalam karya ini, sumur identik
dengan mata air yang keluar dari lapisan tanah, ini menjadi simbol horizontal.
Lalu, saat kita menggali sumur dan tidak menemukan air, saatnya untuk membuat
sumur ke atas, memohon kepada sang Khalik.
Dalam
catatan kuratorial Agung menuliskan, “Ia memang tidak secara langsung
mempersoalkan sejarah. Tapi tanda-tanda pada lukisan dan instalasinya mewakili
gaung dimensi ruang, waktu dan kejadian di masa lampau yang disusun kedalam
komposisi yang tumbuh tidak linier.”
Bagi
Hanafi, “pintu depan” menjadi ruang terkait dengan yang formal, sedangkan “pintu
belakang” kembali hadir sebagai ruang non formal. “Kalau pulang ke rumah, aku
lebih suka masuk lewat pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan bayangan bapak yang duduk di kursi
menatap lurus ke luar pintu. Posisi yang mengandung konstruksi kekuasaan untuk mengawasiku. Kini
pintu belakang tidak berfungsi lagi. Halaman belakang lalu berubah jadi sebuah ideologi yang kosong,
kemudian cenderung di isi dengan sampah,” kata Hanafi.
Melalui dramatika karya
pada pameran “PINTU BELAKANG | DERAU JAWA,” kita seolah di ingatkan kembali,
akan kebudayaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan di landasi
oleh suatu sistem nilai budaya, dimana sistem nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman yang “adiluhung” bagi laku
manusia. Karenanya, karya-karya Hanafi ini menjadi arus balik, ketika ia mulai melihat
arus eksternalisasi budaya dan pasar global, merupakan tekanan “pintu depan”
dari arus eksternalisasi budaya ini.
Sihol Sitanggang
Photojournalist dan Penikmat Seni
http://www.studiohanafi.com/work-in-progress-pintu-belakang-noise-jawa/
Dimuat di Majalah ESENSI edisi 3, April-Mei 2016
Dimuat di Majalah ESENSI edisi 3, April-Mei 2016
Comments
Post a Comment