Berbagi Masa Lalu

Di halaman teater kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) berdiri bangunan menjulang berbentuk persegi, yang tersusun dari ratusan seteger besi. Dengan bentangan sepanjang 12 meter dan lebar 9 meter, bangunan ini dirancang oleh kolaborasi arsitek muda Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan WEN Urban Office. Paviliun ini dijadikan Museum Temporer Rekoleksi Memori yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Partisipasi Indonesia.

Juntaian paranet hitam menjadi dinding Museum, yang memajang sejumlah karya para perupa muda; Sigit Pratama, Yovista Ahtajida, Elisabeth Ida, Adrian Mulya, Kiki Febriyanti dan Jompet Kuswinanto. Mereka menampilkan karya yang mengisahkan tentang tragedi kemanusian 1965, mencoba untuk melihat masa lalu sekaligus merekoleksi memori kita, agar dapat dipahami dengan kejernihan hati dan pikiran.

Dalam upaya memahami sejarah, bahasa visual menjadi kekuatan yang luar biasa, dimana gambar fotografis dan video merupakan bukti visual autentik. Peristiwa atau aktifitas yang terekam  dalam foto merupakan realitas literal yang mudah terbaca, sehingga dapat membangun opini bagi yang melihatnya. Seperti karya Elisabeth Ida, yang bertajuk “Sejarah Siapakah?” berkisah tentang diaspora Indonesia pada tahun 1965. Ida menyajikan seri foto dokumenter serta video dengan metode wawancara menjadi medium pilihannya.

Pada medium yang sama, foto karya Adrian Mulya, yang berjudul “Pemenang Kehidupan” merekam kehidupan para penyintas tragedi 1965 di panti Waluya Sejati Abadi, Kwitang, Jakarta Pusat, Adrian memusatkan perhatian tentang Gerwani. Delapan tahun lalu, Adrian bertemu dengan para perempuan penyintas tragedi 1965 ini, saat itulah dia memulai mendokumentasi aktifitas mereka sampai sekarang. Dalam foto portrait para perempuan yang ditampilkannya pada pameran ini memiliki keberanian untuk berbagi pengalaman masa lalu.

“Maka Museum ini didirikan untuk menyatakan sejarah kalian kepada generasi sekarang. Mengakui, menyesalkan, meminta maaf sedalam-dalamnya atas tragedi kemanusian ini dan akan terus berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya hingga keadilan ditegakkan untuk kalian. Dan menjadi barisan pengingat atas sejarah kelam. Tanpa memahami sejarah masa lalu, kita akan tersesat sebagai bangsa yang terbelenggu dalam belukar kebohogan dan kekerasan tanpa akhir” ungkap Yulia Elvina, sebagai direktur Museum Temporer.

Mencari keadilan dimana pun tidak pernah mudah, bukan hanya karena pelakunya selalu tidak jelas, juga karena sistem hukum yang ada dapat melindungi para pelaku ini dari kemungkinan diadili. Pencarian keadilan akan relatif mudah dilakukan jika pelakunya jelas dan keadilan memamang diperjuangkan oleh pihak berwenang tanpa kepentingan politik.


Sihol Sitanggang
Photojournalist dan Penikmat Seni

Dimuat di Majalah ESENSI edisi 2, Februari-Maret 2016




Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Si Anak Hilang (Sitor Situmorang)

Pangururan, Kampung yang menjadi Kota

Pulau Seribu Kuburan