Bahasa Rupa Entang dan Sally
Di
tengah ontran-ontran teror bom Sarinah yang memenuhi perasaan dan benak hati
kita, terdapat noktah ruang budaya yaitu Pameran Seni Rupa yang bertajuk Conversation: Endless Acts in Human History
karya Entang Wiharso (Yogyakarta, Indonesia) dan Sally Smart (Melbourne,
Australia) di Galeri Nasional pada Januari 2016. Perhelatan ini atas gagasan
kedua perupa, lalu direspon dengan baik oleh galeri Canna untuk menyelengarakan
pameran ini di Galeri Nasional, dengan melibatkan dua Kurator, Suwarno Wisetrotomo (Indonesia) dan co-kurator Natalie King (Australia).
Memasuki
gedung utama Galeri Nasional, tepat di depan pintu, kita menikmati karya
instalasi Entang berjudul “Reclaim
Paradise – Paradise lost no. 2” yang mengisahkan sebuah peristiwa tragis
menimpa suatu keluarga, terkait hak milik tanah yang diambil alih kepemilikannya.
Kisah ini mengingatkan kita pada peristiwa konflik tanah ulayat dan penggusuran,
yang dikuasai oleh pihak tertentu tanpa memberi kompensasi yang pantas. Dalam
situasi seperti ini, kita hidup dalam dunia sebagai pengada berkesadaran,
artinya kita masuk dalam wilayah yang disebut pengalaman. Setiap orang memiliki
pengalaman, pernah mengalami peristiwa tertentu yang tidak terpisahkan dari
dirinya.
Dari
pengalaman itu, Entang menarasikannya dalam bahasa “rupa,” empat patung orang
(bapak, ibu dan dua orang anak) dengan posisi seperti jongkok dengan kedua
lututnya menempel di lantai, seolah posisi bersiap untuk lari, lalu didepan
patung terdapat instalasi hutan bambu, ini mengingatkan halaman dibelakang
rumah Entang pada masa kecil. Sementara ditangan kanan terhubung memegang pipa
plastik spiral, yang merepresentasikan “usus”. Dalam filosofi jawa mengatakan “wong
sabar dowo ususe” yang artinya “orang sabar panjang ususnya,” merujuk kalimat
“panjang usus” menjadi simbol kesabaran. Maka tak heran, jika karya-karya
Entang banyak diwarnai dengan nilai-nilai lokal dan tradisi Jawa. Sedangkan,
citra Serigala yang tergeletak dengan badan terluka, seolah menggenapi korban
dalam perselisihan ini, dimana dalam sebuah konflik, baik pihak yang menang
maupun yang kalah sama-sama menderita.
Dengan
media aluminium, Entang menghadirkan berbagai fantasi dan ide untuk
menggambarkan sebuah kerinduan sekaligus kegelisahan menjadi sebuah karya. Seperti
pada “The Other Dream: I Love You Too
Much” berkisah mimpi hidup atau tinggal di America, impian ini menjadi
harapan sebagian besar kaum imigran yang datang kesana. Sejumlah simbol
dimunculkan dalam karya ini seperti; sejanta, industri, dan kebebasan. Menariknya,
karya ini dinarasikan dalam bentuk komik.
Conversation: Endless Acts in Human History adalah
percakapan Entang dan Sally, yang memperbincangkan konsep-konsep seni,
kebudayaan dan berbagai tatanan dalam peradaban manusia yang telah berkembang,
yakni modernisme.
Entang mengatakan, “Saya
dan Sally berbagi bermacam ketertarikan
dan sering ide-ide yang khusus kerap muncul di dalam
orientasi yang berbeda dalam karya kami, seperti tubuh dan organ, perbatasan
dan tepian, sejarah, kolonisasi, dunia seni dan politik seni. Dan kami berdua
menggunakan metodologi memotong (cutting) sebagai aksi konseptual (conceptual
act) dalam praktik kesenian kami.” Menurut
Sally, “Ini merupakan sebuah
tindakan kepercayaan dan pertemanan, sebuah percakapan antara kedua seniman,
untuk menciptakan pameran yang berbicara melebihi kemampuan kita.”
Dalam
pameran ini, Sally berkisah tentang pengalaman masa kecilnya yang sulit, di
Flinders Rangers, Australia. Sally dilahirkan dari keluarga petani, saat itu tinggal
di sebuah desa yang kering dan terisolasi. Dalam catatan kuratorial, Sally
mengungkapkan: “Hidup selalu didominasi oleh cuaca yang dramatis. Hujan,
kekeringan dan panas yang ekstrim, itu adalah lingkungan yang dinamis dan biasa
indah. Isolasi memastikan kehidupan imajinatif yang kaya”.
Pengalaman personal yang terekam dalam memori menjadi kekuatan Sally dalam berkarya. Pada karyanya berjudul “The Choreography Of Cutting,” terbentang dinding hitam dibagian tengah ruang galeri yang dipenuhi dengan tulisan, lalu tertempel potongan kain membentuk tubuh manusia dengan gesture menari. Di bagian bawah terdapat monitor dengan citra yang bergerak, diantara tulisan ada tertempel tiga foto hitam putih, yang meng-capture sejumlah orang yang sedang bergelayutan, seolah sedang menari. Dalam karya ini Sally merefleksikan persoalan yang personal, pertanyaan serta penjelasan yang ditulisnya itu macam upaya rekonsiliasi, sekaligus berdamai dengan dirinya.
Sally dan
Entang dipertemukan dalam konsep yang nyaris sama, mereka sangat kritis dalam
melihat fenomena yang terjadi, baik dalam bingkai
peristiwa politik, sosial, budaya, kolonisasi, tubuh, hingga stigma.
Entang menyatakan seperti termuat dalam catatan kuratorial, “Teknik
cut-out merupakan manifesto untuk
membedah dan membongkar pengalaman saya dalam menghadapi kondisi chaotic di masyarakat dalam
presentasi visual." Saya memilih metode teknik ini karena ingin membuat
struktur yang solid dengan membuang sesuatu yang tidak penting semacam editing.
Percakapan Entang dan Sally terlihat dalam karya-karyanya yang
merefleksikan persoalan hikayat dan tindakan
manusia di sepanjang zaman. Ini menjadikan opini visual yang selama ini mereka
amati dan rasakan.
Seperti yang diungkapkan Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran
ini, “Apa yang dilakukan Entang dan Sally jauh dari pengertian dan persepsi
praktik pragmatis semacam itu. Mereka mendialogkan topik-topik yang beragam
dengan tujuan mendalami dan memperkaya dimensi presentasi, namun tetap dengan
pilihan bahasa rupa masing-masing.”
Sihol Sitanggang
Photojournalist dan Penikmat Seni
Rujukan;
Dr. Acep Iwan Saidi, 2008, Narasi
Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Yogyakarta, Penerbit ISACBOOK.
Katalog Pameran, 2016, Conversation:
Endless Acts in Human History, Jakarta, Penerbit Galeri Canna
Thomas Hidya Tjaya, Ph.D, Merleau-Ponty
Intensionalitas Pengalaman dan Persepsi, Nomer 03–04, Tahun ke 63, 2014,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan BP Basis.
Comments
Post a Comment