Inkulturasi Sebagai Transformasi Nilai Budaya
Diminggu pagi yang cerah, pelataran gereja Katolik
Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, terasa ada yang berbeda dari
minggu-minggu biasanya. Diatas pintu masuk gereja tergantung banner sepanjang 4 meter bertuliskan “Horas, Mejuah-juah” yang artinya “damai
dan suka cita buat kita semua.” Tampilan interior gereja pun dihiasi dengan
berbagai ulos, mulai dari altar
hingga pilar-pilar gedung gereja tak luput dengan hiasan ulos.
Saat sinar matahari pagi mulai memberi kehangatan, satu
persatu umat
Tepat pukul setengah sembilan pagi, dari halaman
gereja, terdengar lirih ungkapan permohonan seorang umat kepada amang Pargoci (pemain alat musik tradisional Batak) untuk meminta iringan
Gondang Tor-tor memasuki ruang
gereja. Spontan berbunyi suara tabuhan Taganing
(ansambel musik Batak) “Dung… dung dung dung dung” sebagai sahutan dari amang Pargoci menjawab permintaan Gondang
Tor-tor itu.
Berselang beberapa menit, alunan Gondang mengalun
ritmik, mengiringi Romo (Pastor) dan sejumlah petugas liturgi memasuki gereja.
Dan Misa Inkulturasi pun dimulai, semua umat berdiri dan tertegun, terbawa oleh
suasana budaya yang menyatu dengan ritus keagamaan ini.
Umat yang hadir seolah merasakan sebuah peristiwa
budaya yang real seperti layaknya
pesta adat Batak. Tanpa kita sadari bahwa Inkulturasi ini memampukan kita beriman untuk berdialog dengan
kebudayaan setempat. Karenanya Inkulturasi bukanlah sekedar penyesuaian lahiriah, melainkan suatu transformasi internal dari
nilai-nilai budaya yang khas. Hal ini terjadi melalui proses penyatuan ke dalam
keimanan dan berakarnya keimanan dalam pelbagai budaya manusia.
Inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan dinamis
antara iman dengan budaya. Maka inkulturasi adalah suatu
proses yang berlangsung terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa
atau wilayah di mana iman mulai bertumbuh. Secara khusus, iman hanya akan
ada bila memperoleh bentuk ekspresi budaya. Sehingga iman dan kebudayaan harus
berinteraksi dan berasimilasi satu dengan yang lain.
Dalam pengalaman kognitif,
dengan misa Inkulturasi dapat menunjukkan identitas di tengah-tengah kelompok
suku Indonesia lainnya. Sekaligus membentuk kesadaran akan pluralitas
masyarakat Indonesia, sehingga orang Batak dapat menempatkan dirinya dengan
rendah hati pada posisi yang tepat.
Momentum ini juga dapat
mengobati kerinduan dan pengingat sebagai seorang perantau. Dimana terungkap
pada alunan “O Tano Batak” di awal prosesi misa.
Oh, Tanah Batak
kecintaan ku…
Aku selalu merindukan mu
Sulit tertidur, mataku
tak terpejamkan
Aku selalu rindu pada
mu…
Horas Horas… Horas Di Hamu
Saluhutna!
Pejaten Barat, September 2015
Sihol Sitanggang
Photojournalist & Photographer Documentary
Rujukan :
Togar Nainggolan, Sejarah dan Transformasi Religi, Bina Media Perintis, Medan, Cetakan Pertama, 2012
Veryanto Sitohang dan Jenny Solin, Lahir Untuk Merawat Pluralisme, Aliansi Sumut Bersatu, Medan, Cetakan Pertama, 2011
Mantabhhh Bang.
ReplyDeleteThanks share nya
Thank you Brada :)
DeleteCangggiiihhh nya Abangku yg satu ini... Luar biasa
ReplyDeleteMasih belajar ini Di :) thanks ya
DeleteTerimakasih pak atas sharingnya..😃
ReplyDeleteKembali Kasih pak Yohanes.
Delete